cepat hamil

Rabu, 27 Juni 2012

Kisah Inspiratif : MERAJUT CINTA DI BAWAH ANCAMAN KEMATIAN



Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Dia ramah dan energik. Begitu memasuki ruang cuci darah, ia sibuk menyapa perawat dan beberapa pasien. Sepintas, dia Iebih mirip seorang pengantar daripada penderita gagal ginjal. Padahal, ia telah memasuki tahun ketujuh, menjalani kehidupan yang tergantung pada mesin cuci darah. 

Selain ceria, secara fisik ia juga nampak segar, bahkan kulitnya pun masih kuning langsat. Boleh dibilang, kondisi seperti itu langka. Proses cuci darah secara terus menerus akan meninggalkan zat-zat tertentu yang menyebabkan kulit menjadi gelap.

Seperti hampir semua pasien lainnya, ia juga stres berat ketika divonis gagal ginjal tujuh tahun silam. “Dua tahun pertama harus cuci darah saya stres, belum bisa menerima kenyataan. Dunia terasa gelap, sempit. Tuhan tidak adil. Saya punya rencana, semua gagal karena sakit. Saya putus asa,” tutur Roslinawati pada Tarbawi.

Ros yang saat itu tinggal di Kalimantan, akhirnya kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta untuk berobat. Ibu dan seluruh keluarga merawat Ros yang saking parahnya hingga ia tidak bisa berjalan, harus rnemakai oksigen 24 jam, dan keluar masuk rumah sakit. Kondisi tak berdaya itu membuat Ros marah pada semuanya, termasuk kepada Tuhan. Ia juga tidak mau bergaul, bahkan kesal bila melihat orang tertawa. “Saya benci pada din sendiri,” ucapnya.

Ros mengungkapkan, kemarahan dan penolakan atas penyakit itu malah memperburuk kondisiriya. Semakin memberontak, ia semakin sakit bahkan bernafas pun menjadi susah. “Saya jenuh, capek dengan pemberontakan yang tidak ada hasilnya. Saya berpikir, ya Allah, saya tidak bisa begini terus,” kenangnya.

Setelah dua tahun dalam peperangan melawan kenyataan, akhirnya Roslinawati sampal pada tahap penerimaan. Shalat tahajud dan membaca Al Qur’an menjadi kalalisator kesadarannya. 

Pada Al Qur’an ia menemukan ayat yang menyatakan, Allah tidak akan menguji umat-Nya di luar batas kemampuan. 

Pada shalat Tahajud ia menemukan ketenangan dan keyakinan, Allah yang paling tahu apa yang terbaik bagi umat-Nya, meski di mata manusia itu terlihat buruk. “Saya berusaha ikhlas. Sernakin jauh dan Allah, saya makin tersiksa. Ketika sudah pasrah ternyata saya menjadi tenang,” ujar-nya.

Kepasrahan itu kemudian membuka kesadaran-kesadaran lanjutan dalam diri Roslinawati. Ia merasa tidak enak telah merepotkan seluruh keluarga terutama ibunya. Apalagi adiknya menceritakan, ibunya sering menangis tanpa sepengetahuan Ros, sebab bila ia tahu, ibunya takut Ros menjadi makin sedih. 

Semua itu membuat Ros merasa bersalah. “Saya minta maaf dan bertanya, apa yang bisa membahagiakan Ibu. Saya sakit, tidak bisa memberi apa-apa lagi. lbu bilang, yang bisa membahagiakan Ibu kalau kamu sehat Itu saja,” kenangnya.

Sejak itu Roslinawati berjuang untuk sehat. Sempat juga Ia shock ketika pertama kali bercerrnin setelah dua tahun tidak berdandan. Di cermin itu, ia melihat badannya begitu kurus, kering, dan tua bagaikan nenek-nenek, hingga Ia sendiri pun menjerit kaget. Lagi-lagi, sang Ibu yang begitu tegar dan penuh cinta
meyakinkannya. Tidak apa-apa, asal pikiran sehat, badan juga akan sehat.

Langkah pertama berjuang untuk sehat dan mandiri Ia wujudkan dengan berangkat ke tempat cuci darah sendirian. Ros yang semula harus diantar mobil bahkan digotong kini memilih naik ojek. “Saya yakin kalau berjalan untuk kebaikan pasti Tuhan mehndungi. Di jalan istighfar terus, alhamdulillah sampai tujuan,” ujarnya.

Ros yang absen cukup lama dan kantornya pun kembali bekerja. Saking takutnya kalau sakit dan jatuh di jalanan, awalnya Ros membawa pembantu yang disuruhnya menunggu di lobby hingga saat pulang tiba. Pelan-pelan, semangat hidup mulai tumbuh, dan seiring dengan itu, tubuhnya makin sehat. Hati dan jiwanya mulai dipenuhi penerimaan dan keikhlasan, termasuk kesabaran melepas suami untuk wanita lain, karena lelaki yang telah memberinya dua putra itu tidak tahan hidup bersama istn yang sakit-sakitan.

Sejak itu, Ros mulai menata hidup dalam kesendinan dan tak sedetik pun terpikir untuk menikah lagi. Ia membangun ketenangan, selain dengan mendekatkan diri pada Allah, juga dengan melepaskan ambisi dan target yang dulu memenuhi angannya. Ia sadar, kini ia hidup dalam keterbatasan.

Satu-satunya target yang masih tersisa hanyalah menjalani hidup tanpa menyusahkan orang lain dan sebisa mungkin berguna di dunia ini. “Saya ingin di sisa hidup ini mendapatkan ketenangan lahir batin. Yang saya pikirkan hanya yang saya butuhkan. Selama Tuhan masih membeni nafas, saya harus tetap hidup yang sehidup-hidupnya, bukan hidup tapi mati. Hidup yang bermakna. Saya sakit tapi jiwa saya sehat,” tuturnya.

Acara. rutin cuci darah akhimya menjadi medan pertemuan Ros dengan Sigit Wismonugroho, lelaki yang kini menjadi suaminya. “Saya kenal karena cuci darah, sening bertemu. Tapi berpikir ke arah menikah awalnya merasa tidak mungkin karena kami sama-sama sakit. Orang sakit seperti saya, apa ada yang mau,” ujarnya.

Pertemuan demi pertemuan lama-lama mendekatkan keduanya. Mulai dan pertemuan di tempat cuci darah, ketika tanpa sengaja mereka mendapat tempat cuci darah yang bersebelahan, ikut seminar tentang ginjal, hingga menghadiri pernikahan suster yang merawat pasien gagal ginjal. Kedekatan kian erat ketika Sigit dirawat di rumah sakit dan Ros menengoknya. Sigit yang sendiriari karena baru saja ditinggal ibunya meninggal, mengundang iba dan sayang di hati Ros.

Saling berbagi cerita, akhimya kedua insan yang sama-sama pernah ditinggalkan pasangannya yang sehat ketika mereka divonis gagal ginjal itu merasa ingin membina hubungan lebih serius. Ros mengakui, awalnya belum saling jatuh cinta. Yang ada hanya rasa saling membutuhkan teman hidup. “Kalau Tuhan memberikan jodoh, tolong berikan yang terbaik. Saya tidak memilih, pokoknya yang terbaik di mata Allah,” ujarnya.

Niat kedua sejoli yang sama-sama sakit itu awalnya menimbulkan penolakan keluanga. “Orang sudah sakit, mengurus diri sendiri saja susah apalagi harus mengurus pasangannya, begitu kata keluarga saya,” ujar Ros. 

Di pihak keluarga Sigit pun, penolakan keluarga atas rencana pernikahan itu juga cukup serius. Sesungguhnya tidak masalah bila Sigit yang menduda itu ingin menikah, tapi mereka ingin Sigit mendapatkan mempelai yang sehat sehingga mampu merawat dirinya kelak. “Sigit bilang, orang sehat tidak ada yang mau sama dia. Justru karena sama-sama sakit, kami berdua saling mengerti,” paparnya.

Baik Ros maupun Sigit menyatakan, mereka berdua justru takut membina cinta dengan orang sehat. Rasa sakit ketika suami meninggalkan Ros dan pedih ketika istri meninggalkan Sigit masih segar dalam ingatan hingga keduanya khawatir, jangan-jangan orang sehat akan kernbali menyakiti hati mereka. Penolakan tak menghentikan langkah Sigit dan Ros menuju pelaminan. “Kalau memang dia jodoh saya, pasti perkawinan itu akan ada. Saya bilang, saya punya Tuhan yang akan melindungi asal niatnya karena Allah bukan karena nafsu saja. Saya tidak takut, saya jalani saja. Niat saya ibadah. Saya menolong suami yang sakit, suami bisa menolong saya yang sakitt tandas Ros.

Bagaimana pun, bila Tuhan berkehendak tak seorang pun dapat menahannya. Pemikahan yang awalnya mustahil bagi keduanya, akhirnya terlaksana, Ros menyatakan, ia bangga menikah dengan Sigit, lelaki yang menurut Ros sangat tabah menjalani cuci darah selama 14 tahun. “Yang paling saya cintai dan dia, semangat hidupnya, kesabarannya. Dia sakit, ditinggalkan istri, namun dia tetap bisa hidup mandiri, tetap bekerja, bahkan mampu merawat ibunya hingga meninggal dunia. Dia pasrah dan tenang menghadapi semuanya” ujar Ros.

Sigit mengakui, boleh dibilang keputusannya untuk menikahi Ros memang tindakan gila. “Kakak saya tidak setuju. Nanti kalau dua-duanya sakit bagaimana,” ujamya. Ia menceritakan, vonis gagal ginjal diterimanya ketika pernikahan dengan istn pertama baru sekitar empat bulan.

Seperti Ros, Ia pun sempat stres berat saat divonis harus cuci darah seumur hidup. “Saya belum bisa menerima. Setelah diberitahu, saya pulang. Cuaca sedang panas terik. Tapi saya kedinginan. Gemetar. Hidup sedang di puncak semangat. Baru saja menikah. Cita-cita sedang tinggi. Ketika divonis semua angan ambruk,” kenangnya.

Ketika sikap istrinya lama-lama berubah, dan akhirnya minta cerai, Sigit segera menyetujuinya karena sadar, sejak sakit memang ia tidak bisa mengimbangi keinginan istri. “Perawat bilang istri datang membawa laki-laki. Saya tanya, katanya tidak ada apa-apa. Tiga tahun kemudian dia minta cerai. Danipada saya dibohongin sakit hati, lebih cerai, jadi tidak kepikiran,” ucap-nya.

Sejak itu, Sigit mengerahkan segala daya untuk hidup mandiri, tentu dengan keterbatasan. Menikah lagi sama sekali tidak ada dalam benaknya. Saat itu, mengenang pernikahan identik dengan mengenang rasa disakiti orang yang dicintainya. Tapi Sigit tidak bisa mengelak dan kenormalannya sebagai lelaki. Sakit tidak mengikis habis kebutuhan untuk merniliki teman hidup, teman berbagi rasa.

Karenanya ia masih berharap, kalau ada orang mencintainya dia akan membalas cinta itu. “Temyata yang datang dalam hidup saya dia,” tutumya sambil menunjuk Ros.

Sigit yang fungsi ginjalnya tinggal sembilan persen itu mengenang, awalnya dia hanya merasa kasihan melihat Ros yang di awal pertemuan di tempat cuci darah terlihat kurus dan sakit parah. “Tahu-tahu bersebelahan waktu cuci darah. Tapi cuma sebentar. Terus seminar. Selesai acara, dia tidak langsung tapi ikut seminar sebuah MLM. Saya bilang, “ngapain sih, sudah mau mati masih ikut MLM. Itu hanya untuk orang sehat. Dia marah-marah” kata Sigit sambil tertawa terbahak-bahak.

Wajahnya terlihat bersinar dan geli ketika menceritakan Ros yang seolah tidak mau pulang kalau sedang menjenguknya di rumah sakit. Usut punya usut, temyata selain menengok karena simpati, Ros juga gencar memasarkan produk MLM yang diikutinya. ‘Saya dirayu beli produk pelembab kaki. Katanya, orang cuci darah kan kulitnya akan menghitam, makanya pakai produk jualannya supaya putih. Saya beli karena kasihan. Padahal dia sendiri pakai produk lain yang lebih murah,” tutur Sigit. lagi-lagi dengan tawa berderai.

Percaya diri dan gencar menawarkan dagangan, Ros yang di mata Sigit tergolong perempuan bernyali besar dan bermental baja itu, ketika hendak pulang mengaku tidak punya uang. Sambil tertawa, Sigit mengatakan Ia sering memberikan Ros ongkos untuk pulang.

Sigit mengungkapkan, ia menikah karena ingin hidup secara normal. Menurutnya, hidup sendiri itu tidak enak. Meski setelah menikah tanggungjawabnya lebih besar, karena kini ada seorang istri yang harus dilindungi serta frekuensi sakit yang kian sering karena keduanya bergantian diopname, tapi bagaimana pun Sigit merasa, pernikahan membuat hidupnya jauh lebih bahagia dan penuh warna. Kehadiran istri menjadi karunia besar dalam hidupnya. “Kalau sakit ada tempat mengeluh. Sekadar begitu saja sudah sangat membahagiakan,” uarnya.

Meski sesungguhnya ada juga keinginan di hati.Sigit untuk memiliki keturunan dan darah dagingnya sendiri, tapi ia sadar, memiliki anak dalam kondisi seperti Ini tidak rasional karena kehamilan akan memperburuk kesehatan Ros.

Sadar hidup tak akan lama, Sigit yang fungsi jantungnya 70 persen dan Ros yang fungsi jantungnya tinggal 54 persen berkomitmen untuk tidak bertengkar karena hal itu hanya akan menyakiti dan membebani hidup yang mungkin tinggal sebentar saja.

Sigit dan Ros merasakan, betapa jauh lebih bahagianya pemikahan saat ini dibanding yang sebelumnya. Kondisi tubuh yang menurut perhitungan medis memang akan terus melemah justru memacu rnereka untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan seindah-indahnya. Berusaha menyempatkan waktu untuk selalu berduaan, bahkan saat cuci darah pun rnereka berusaha mendapat tempat tidur berdampingan. Sigit mengatakan, tiap han mereka seperti orang berpacaran. 

Menjalani hidup tanpa pertengkaran, saling cinta, saling merawat, dan lebih dan itu, mereka tidak lagi memiliki ambisi dan keinginan muluk, selain hanya ingin menyelesaikan hidup di dunia tanpa menyusahkan orang lain.

“Setelah menikah, tidak pernah berpikir soal rencana ke depan karena sadar umur kami tidak akan lama. Cuma kita tidak tahu kapan tapi pasti tidak lama,” ujar Sigit yang kini jari-jari tangannya mulai melemah, tulang mulai kaku sehingga kalau shalat terpaksa harus duduk.

Membicarakan kematian, bagi pasangan ini bukan hal tabu. Ros berkali-kali mengucapkan, meski dia hampir terbiasa melihat pasien gagal ginjal meninggal dunia, tapi ia merasa tidak bisa hidup lagi kalau tiba giliran Sigit untuk menghadap Yang Maha Kuasa. Namun Sigit yang nampak lebih rasional mengatakan, hidup harus terus dijalani, meski tentu sangat berat, kalau Ros yang pergi mendahuluinya. Bagaimana pun, toh Ia tidak bisa rneminta atau menunda kematian.

Kesadaran akan kian melemahnya tubuh, dan ancaman kematian yang terus membayangi hidup tak berarti mereka bercucuran air mata setiap waktu Bagi Ros, mencintai suami memberikannya kekuatan, memberinya kepercayaan. “Saya harus kuat karena saya cinta dia, saya ingin menolong dia. Ketika saya lemah saya merasa dicintai dan itu membuat saya percaya diri. Kami mencintai kelemahan masing-masing. Jadi tidak ada saling menyalahkan atau penyesalan. Yang timbul hanya rasa kasih dan sayang,” tutur Ros.

Kini Ros dan Sigit terus berusaha menjalani hidupnya dalam ketenangan. Pernikahan yang diterima sebagai karunia besar, berusaha mereka nikmati dan syukuri. Mereka saling mencintai nyaris tanpa tuntutan, ambisi, atau angan yang muluk, yang biasanya menjadi milik orang yang sehat dan juga menjadi sumber kegelisahan hidup.

Setengah bercanda, Sigit menyatakan. kini ia dan istnnya hanya ingin bersenang-senang. Menikmati honey moon di Bali atau Yogyakarta adalah satu-satunya keinginan yang masih ada dl hatinya, namun ia tidak tahu kapan terlaksana. “Hidup bersama dia sangat nyaman,” ucap Sigit lirih.

Kesadaran Sigit dan Ros menyongsong kematian, justru menyebabkan mereka sungguh-sungguh menghargai waktu, kehidupan, dan cinta kasih pasangan. Mencurahkan kasih dan perhatian selagi bisa, serta masih diberi kesempatan, dengan kualitas maksimal serta melepaskan hal sia-sia yang merusak ketenangan jiwa.

Gagal ginjal yang telah bertahun-tahun diderita bagaikan alarm yang terus menerus mendentangkan peringatan akan dekatnya kematian. Dan sepasang kekasih itu saling mengikatkan hati untuk menantinya dengan segenap doa dan keikhlasan.

~ o ~


copas dari : http://www.facebook.com/pages/Strawberry/327342750179

Rabu, 20 Juni 2012

Kisah Inspiratif : YU YUAN, MALAIKAT KECIL DARI CHINA

Yu Yuan Gadis Kecil Berhati Malaikat, yang berjuang hidup dari Leukimia Ganas, setelah merasa tidak dapat disembuhkan lagi, ia rela melepaskan segala-galanya dan menyumbangkan untuk anak-anak lain yang masih punya harapan. Sungguh .. tak abis kata2 untuk Yu Yuan. Terima kasih telah memberikan contoh mulia kepada kami…

Kisah tentang seorang gadis kecil yang cantik yang memiliki sepasang bola mata yang indah dan hati yang lugu polos. Dia adalah seorang yatim piatu dan hanya sempat hidup di dunia ini selama delapan tahun.
Satu kalimat terakhir yang ia tinggalkan di batu nisannya adalah saya pernah datang dan saya sangat penurut.

Anak ini rela melepasakan pengobatan, padahal sebelumnya dia telah memiliki dana pengobatan sebanyak 540.000 dolar yang didapat dari perkumpulan orang Chinese seluruh dunia. Dan membagi dana tersebut menjadi tujuh bagian, yang dibagikan kepada tujuh anak kecil yang juga sedang berjuang menghadapi kematian. Dan dia rela melepaskan pengobatannya.


Begitu lahir dia sudah tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Dia hanya memiliki seorang papa yang mengadopsinya. Papanya berumur 30 tahun yang bertempat tinggal di provinsi She Cuan kecamatan Suang Liu, kota Sang Xin Zhen Yun Ya Chun Er Cu. Karena miskin, maka selama ini ia tidak menemukan pasangan hidupnya. Kalau masih harus mengadopsi anak kecil ini, mungkin tidak ada lagi orang yang mau dilamar olehnya. Pada tanggal 30 November 1996, tgl 20 bln 10 imlek, adalah saat dimana papanya menemukan anak kecil tersebut diatas hamparan rumput, disanalah papanya menemukan seorang bayi kecil yang sedang kedinginan. Pada saat menemukan anak ini, di dadanya terdapat selembar kartu kecil tertulis, 20 November jam 12.

Melihat anak kecil ini menangis dengan suara tangisannya sudah mulai melemah. Papanya berpikir kalau tidak ada orang yang memperhatikannya, maka kapan saja bayi ini bisa meninggal. Dengan berat hati papanya memeluk bayi tersebut, dengan menghela nafas dan berkata, “saya makan apa, maka kamu juga ikut apa yang saya makan”. Kemudian papanya memberikan dia nama Yu Yan.

Ini adalah kisah seorang pemuda yang belum menikah yang membesarkan seorang anak, tidak ada Asi dan juga tidak mampu membeli susu bubuk, hanya mampu memberi makan bayi tersebut dengan air tajin (air beras). Maka dari kecil anak ini tumbuh menjadi lemah dan sakit-sakitan. Tetapi anak ini sangat penurut dan sangat patuh. Musim silih berganti, Yu Yuan pun tumbuh dan bertambah besar serta memiliki kepintaran yang luar biasa. Para tetangga sering memuji Yu Yuan sangat pintar, walaupun dari kecil sering sakit-sakitan dan mereka sangat menyukai Yu Yuan. Ditengah ketakutan dan kecemasan papanya, Yu Yuan pelan-pelan tumbuh dewasa.

Yu Yuan yang hidup dalam kesusahan memang luar biasa, mulai dari umur lima tahun, dia sudah membantu papa mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju, memasak nasi dan memotong rumput. Setiap hal dia kerjakan dengan baik. Dia sadar dia berbeda dengan anak-anak lain. Anak-anak lain memiliki sepasang orang tua, sedangkan dia hanya memiliki seorang papa. Keluarga ini hanya mengandalkan dia dan papa yang saling menopang. Dia harus menjadi seorang anak yang penurut dan tidak boleh membuat papa menjadi sedih dan marah.

Pada saat dia masuk sekolah dasar, dia sendiri sudah sangat mengerti, harus giat belajar dan menjadi juara di sekolah. Inilah yang bisa membuat papanya yang tidak berpendidikan menjadi bangga di desanya. Dia tidak pernah mengecewakan papanya, dia pun bernyanyi untuk papanya. Setiap hal yang lucu yang terjadi disekolahnya di ceritakan kepada papanya. Kadang-kadang dia bisa nakal dengan mengeluarkan soal-soal yang susah untuk menguji papanya.

Setiap kali melihat senyuman papanya, dia merasa puas dan bahagia. Walaupun tidak seperti anak-anak lain yang memiliki mama, tetapi bisa hidup bahagia dengan papa, ia sudah sangat berbahagia. Mulai dari bulan Mei 2005 Yu Yuan mulai mengalami mimisan. Pada suatu pagi saat Yu Yuan sedang mencuci muka, ia menyadari bahwa air cuci mukanya sudah penuh dengan darah yang ternyata berasal dari hidungnya. Dengan berbagai cara tidak bisa menghentikan pendarahan tersebut. Sehingga papanya membawa Yu Yuan ke puskesmas desa untuk disuntik. Tetapi sayangnya dari bekas suntikan itu juga mengerluarkan darah dan tidak mau berhenti. Dipahanya mulai bermunculan bintik-bintik merah.

Dokter tersebut menyarankan papanya untuk membawa Yu Yuan ke rumah sakit untuk diperiksa. Begitu tiba di rumah sakit, Yu Yuan tidak mendapatkan nomor karena antrian sudah panjang. Yu Yuan hanya bisa duduk sendiri dikursi yang panjang untuk menutupi hidungnya. Darah yang keluar dari hidungnya bagaikan air yang terus mengalir dan memerahi lantai. Karena papanya merasa tidak enak kemudian mengambil sebuah baskom kecil untuk menampung darah yang keluar dari hidung Yu Yuan. Tidak sampai sepuluh menit, baskom yang kecil tersebut sudah penuh berisi darah yang keluar dari hidung Yu Yuan.

Dokter yang melihat keadaaan ini cepat-cepat membawa Yu Yuan untuk diperiksa. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa Yu Yuan terkena Leukimia ganas. Pengobatan penyakit tersebut sangat mahal yang memerlukan biaya sebesar 300.000 $. Papanya mulai cemas melihat anaknya yang terbaring lemah di ranjang. Papanya hanya memiliki satu niat yaitu menyelamatkan anaknya. Dengan berbagai cara meminjam uang kesanak saudara dan teman dan ternyata, uang yang terkumpul sangatlah sedikit.Papanya akhirnya mengambil keputusan untuk menjual rumahnya yang merupakan harta satu satunya. Tapi karena rumahnya terlalu kumuh, dalam waktu yang singkat tidak bisa menemukan seorang pembeli.

Melihat mata papanya yang sedih dan pipi yang kian hari kian kurus. Dalam hati Yu Yuan merasa sedih. Pada suatu hari Yu Yuan menarik tangan papanya, air mata pun mengalir dikala kata-kata belum sempat terlontar. “Papa saya ingin mati”.Papanya dengan pandangan yang kaget melihat Yu Yuan, “Kamu baru berumur 8 tahun kenapa mau mati”. “Saya adalah anak yang dipungut, semua orang berkata nyawa saya tak berharga, tidaklah cocok dengan penyakit ini, biarlah saya keluar dari rumah sakit ini.”

Pada tanggal 18 juni, Yu Yuan mewakili papanya yang tidak mengenal huruf, menandatangani surat keterangan pelepasan perawatan. Anak yang berumur delapan tahun itu pun mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakamannyasendiri. Hari itu juga setelah pulang kerumah, Yu Yuan yang sejak kecil tidak pernah memiliki permintaan, hari itu meminta dua permohonan kepada papanya. Dia ingin memakai baju baru dan berfoto. Yu Yuan berkata kepada papanya: “Setelah saya tidak ada, kalau papa merindukan saya lihatlah melihat foto ini”. Hari kedua, papanya menyuruh bibi menemani Yu Yuan pergi ke kota dan membeli baju baru. Yu Yuan sendirilah yang memilih baju yang dibelinya.

Bibinya memilihkan satu rok yang berwarna putih dengan corak bintik-bintik merah. Begitu mencoba dan tidak rela melepaskannya. Kemudian mereka bertiga tiba di sebuah studio foto. Yu Yuan kemudia memakai baju barunya dengan pose secantik mungkin berjuang untuk tersenyum. Bagaimanapun ia berusaha tersenyum, pada akhirnya juga tidak bisamenahan air matanya yang mengalir keluar. Kalau bukan karena seorang wartawan Chuan Yuan yang bekerja di surat kabar Cheng Du Wan Bao, Yu Yuan akan seperti selembar daun yang lepas dari pohon dan hilang ditiup angin.

Setelah mengetahui keadaan Yu Yuan dari rumah sakit, Chuan Yuan kemudian menuliskan sebuah laporan, menceritakan kisah Yu Yuan secara detail. Cerita tentang anak yg berumur 8 tahun mengatur pemakamakannya sendiri dan akhirnya menyebar keseluruh kota Rong Cheng. Banyak orang-orang yang tergugah oleh seorang anak kecil yang sakit ini, dari ibu kota sampai satuNegara bahkan sampai keseluruh dunia. Mereka mengirim email ke seluruh dunia untuk menggalang dana bagi anak ini”. Dunia yang damai ini menjadi suara panggilan yang sangat kuat bagi setiap orang.

Hanya dalam waktu sepuluh hari, dari perkumpulan orang Chinese didunia saja telah mengumpulkan 560.000 dolar. Biaya operasi pun telah tercukupi. Titik kehidupan Yu Yuan sekali lagi dihidupkan oleh cinta kasih semua orang.

Setelah itu, pengumuman penggalangan dana dihentikan tetapi dana terus mengalir dari seluruh dunia. Dana pun telah tersedia dan para dokter sudah ada untuk mengobati Yu Yuan. Satu demi satu gerbang kesulitan pengobatan juga telah dilewati. Semua orang menunggu hari suksesnya Yu Yuan. Ada seorang teman di-email bahkan menulis: “Yu Yuan anakku yang tercinta sayamengharapkan kesembuhanmu dan keluar dari rumah sakit. Saya mendoakanmu cepat kembali ke sekolah. Saya mendambakanmu bisa tumbuh besar dan sehat. Yu Yuan anakku tercinta.”

Pada tanggal 21 Juni, Yu Yuan yang telah melepaskan pengobatan dan menunggu kematian akhirnya dibawa kembali ke ibu kota. Dana yang sudah terkumpul, membuat jiwa yang lemah ini memiliki harapan dan alasan untuk terus bertahan hidup. Yu Yuan akhirnya menerima pengobatan dan dia sangat menderita didalam sebuah pintu kaca tempat dia berobat. Yu Yuan kemudian berbaring diranjang untuk diinfus.



Ketegaran anak kecil ini membuat semua orang kagum padanya. Dokter yang menangani dia, Shii Min berkata, dalam perjalanan proses terapi akan mendatangkan mual yang sangat hebat. Pada permulaan terapi Yu Yuan sering sekali muntah. Tetapi Yu Yuan tidak pernah mengeluh. Pada saat pertamakali melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang, jarum suntik ditusukkan dari depan dadanya, tetapi Yu Yuan tidak menangis dan juga tidak berteriak, bahkan tidak meneteskan air mata. Yu yuan yang dari dari lahir sampai maut menjemput tidak pernah mendapat kasih sayang seorang ibu. Pada saat dokter Shii Minmenawarkan Yu Yuan untuk menjadi anak perermpuannya. Air mata Yu Yuan pun mengalir tak terbendung.


Hari kedua saat dokter Shii Min datang, Yu Yuan dengan malu-malu memanggil dengan sebutan Shii Mama. Pertama kalinya mendengar suara itu, Shii Min kaget, dan kemudian dengan tersenyum dan menjawab, “Anak yang baik”. Semua orang mendambakan sebuah keajaiban dan menunggu momen dimana Yu Yuan hidup dan sembuh kembali. Banyak masyarakat datang untuk menjenguk Yu Yuan dan banyak orang menanyakan kabar Yu Yuan dari email. Selama dua bulan Yu Yuan melakukan terapi dan telah berjuang menerobos sembilan pintu maut.

Pernah mengalami pendarahan dipencernaan dan selalu selamat dari bencana. Sampai akhirnya darah putih dari tubuh Yu Yuan sudah bisa terkontrol. Semua orang-orang pun menunggu kabar baik dari kesembuhan Yu Yuan.
Tetapi efek samping yang dikeluarkan oleh obat-obat terapi sangatlah menakutkan, apalagi dibandingkan dengan anak-anak leukemia yang lain. Fisik Yu Yuan jauh sangat lemah. Setelah melewati operasi tersebut fisik Yu Yuan semakin lemah.

Pada tanggal 20 agustus, Yu Yuan bertanya kepada wartawan Fu Yuan: “Tante kenapa mereka mau menyumbang dana untuk saya? Tanya Yu Yuan kepada wartawan tersebut. Wartawan tersebut menjawab, karena mereka semua adalah orang yang baik hati”. YuYuan kemudia berkata : “Tante saya juga mau menjadi orang yang baik hati”. Wartawan itupun menjawab, “Kamu memang orang yang baik.

Orang baik harus saling membantu agar bisa berubah menjadi semakin baik”. Yu yuan dari bawah bantal tidurnya mengambil sebuah buku, dan diberikan kepada ke Fu Yuan. “Tante ini adalah surat wasiat saya.”

Fu yuan kaget, sekali membuka dan melihat surat tersebut ternyata Yu Yuan telah mengatur tentang pengaturan pemakamannya sendiri. Ini adalah seorang anak yang berumur delapan tahun yang sedang menghadapi sebuah kematian dandiatas ranjang menulis tiga halaman surat wasiat dan dibagi menjadi enam bagian, dengan pembukaan, tante Fu Yuan, dan diakhiri dengan selamat tinggal tante Fu Yuan.

Dalam satu artikel itu nama Fu Yuan muncul tujuh kali dan masih ada sembilan sebutan singkat tante wartawan. Dibelakang ada enam belas sebutan dan ini adalah kata setelah Yu Yuan meninggal. Tolong,……. Dan dia juga ingin menyatakan terima kasih serta selamat tinggal kepada orang- orang yang selama ini telah memperhatikan dia lewat surat kabar. “Sampai jumpa tante,kita berjumpa lagi dalam mimpi. Tolong jaga papa saya. Dan sedikit dari dana pengobatan ini bisa dibagikan kepada sekolah saya. Dan katakana ini juga pada pemimpin palang merah.

Setelah saya meninggal, biaya pengobatan itu dibagikan kepada orang-orang yang sakit seperti saya. Biar mereka lekas sembuh”. Surat wasiat ini membuat Fu Yuan tidak bisa menahan tangis yang membasahi pipinya.

Saya pernah datang, saya sangat patuh, demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir Yu Yuan. Pada tanggal 22 agustus, karena pendarahan dipencernaan hampir satu bulan, Yu Yuan tidak bisa makan dan hanya bisa mengandalkan infus untuk bertahan hidup. Mula mulanya berusaha mencuri makan, Yu Yuan mengambil mie instant dan memakannya. Hal ini membuat pendarahan dipencernaan Yu Yuan semakin parah. Dokter dan perawat pun secepatnya memberikan pertolongan darurat dan memberi infus dan transfer darah setelah melihat pendarahan Yu Yuan yang sangat hebat. Dokter dan para perawat pun ikut menangis.Semua orang ingin membantu meringankan pederitaannya. Tetapi tetap tidak bisa membantunya. Yu Yuan yang telah menderita karena penyakit tersebut akhirnya meninggal dengan tenang. Semua orang tidak bisa menerima kenyataan ini melihat malaikat kecil yang cantik yang suci bagaikan air. Sungguh telah pergi kedunia lain.

Dikecamatan She Chuan, sebuah email pun dipenuhi tangisan menghantar kepergian Yu Yuan. Banyak yang mengirimkan ucapan turut berduka cita dengan karangan bunga yang ditumupuk setinggi gunung. Ada seorang pemuda berkata dengan pelan “Anak kecil, kamu sebenarnya adalah malaikat kecil diatas langit,kepakanlah kedua sayapmu. Terbanglah……………” demikian kata-kata dari seorang pemuda tersebut.

Pada tanggal 26 Agustus, pemakaman Yu Yuan dilaksanakan saat hujan gerimis. Didepan rumah duka, banyak orang-orang berdiri dan menangis mengantar kepergian Yu Yuan. Mereka adalah papa mama Yu Yuan yang tidak dikenal oleh Yu Yuan semasa hidupnya. Demi Yu Yuan yang menderita karena leukemia dan melepaskan pengobatan demi orang lain, maka datanglah papa mama dari berbagai daerah yang diam-diam mengantarkan kepergian Yu Yuan.

Didepan kuburannya terdapat selembar foto Yu Yuan yang sedang tertawa. Diatas batu nisannya tertulis, “Aku pernah datang dan aku sangat patuh” (30 nov 1996- 22 agus 2005). Dan dibelakangnya terukir perjalanan singkat riwayat hidup Yu Yuan. Dua kalimat terakhir adalah disaat dia masih hidup telah menerimakehangatan dari dunia. Beristirahatlah gadis kecilku, nirwana akan menjadi lebih ceria dengan adanya dirimu.

Sesuai pesan dari Yu Yuan, sisa dana 540.000 dolar tersebut disumbangkan kepada anak-anak penderita luekimia lainnya. Tujuh anak yang menerima bantuan dana Yu Yuan itu adalah : Shii Li, Huang Zhi Qiang, Liu Ling Lu, Zhang Yu Jie, Gao Jian, Wang Jie. Tujuh anak kecil yang kasihan ini semua berasal dari keluarga tidakmampu. Mereka adalah anak-anak miskin yang berjuang melawan kematian.

Pada tanggal 24 September, anak pertama yang menerima bantuan dari Yu Yuan di rumah sakit Hua Xi berhasil melakukan operasi. Senyuman yang mengambang pun terlukis diraut wajah anak tersebut. “Saya telah menerima bantuan dari kehidupan Anda, terima kasih adik Yu Yuan kamu pasti sedang melihat kamidiatas sana. Jangan risau, kelak di batu nisan, kami juga akan mengukirnya dengan kata-kata “Aku pernah datang dan aku sangat patuh”.

Seorang anak kecil yang berjuang bertahan hidup dan akhirnya harus menghadapi kematian akibat sakit yang dideritanya. Dengan kepolosan dan ketulusan serta baktinya kepada orang tuanya, akhirnya mendapatkan respon yang luar biasa dari kalangan Dunia. Walaupun hidup serba kekurangan, Dia bisa memberikan kasihnya terhadap sesama. Inilah contoh yang seharusnya kita pun mampu melakukan hal yang sama, berbuat sesuatu yang bermakna bagi sesama, memberikan sedikit kehangatan dan perhatian kepada orang yang membutuhkan. Pribadi dan hati seperti inilah yang dinamakan pribadi seorang Pengasih.

edisi repost
sumber: Yu Yuan Gadis Kecil Berhati Malaikat, « MEMBANGUN KHAZANAH ILMU DAN PENDIDIKAN