cepat hamil

Selasa, 23 Februari 2016

Sebuah Kisah Nyata Menguras Air Mata: Jangan Marah Berkepanjangan


 
Sebuah salah pengertian yang mengakibatkan kehancuran sebuah rumah tangga. Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi segalanya sudah terlambat.
Membawa ibu untuk tinggal bersama menghabiskan masa tua nya bersama kami, malah telah mengkhianati ikrar cinta yg kami buat selama ini.
Setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput ibu untuk tinggal bersama kami.

Sejak kecil, suami saya kehilangan ayahnya, dialah satu-satunya harapan ibu, ibu pula yang membesarkannya dan menyekolahkannya hingga tamat kuliah. Saya terus mengangguk cerminan tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah kamar untuk ibu yang menghadap taman agar dia dapat berjemur, mananam bunga dan sebagainya. Suamiku berdiri di depan kamar yg sangat kaya dengan sinar matahari, tidak sepatah katapun yg terucap, tiba-tiba dia mengangkat saya dan memutar-mutar saya seperti adegan film India dan berkata : "Mari kita menjemput ibu di kampung".

Suamiku berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang. Ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku seperti cerminan sebuah boneka kecil yang kapan saja bisa diangkat dan dimasukkan kedalam kantongnya. Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi di atas kepalanya lalu diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.

Kebiasaan ibu di kampung tidak berubah. Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya ibu tidak tahan lagi dan berkata kepada suamiku : "Istri kamu hidup foya-foya. Buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan".

Aku menjelaskannya kepada ibu : "Bu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira." Ibu selalu mendumel, suamiku berkata sambil tertawa : "Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu akan terbiasa juga."

Ibu tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu. Setiap mendengar jawabanku, dia selalu mencibir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia selalu bertanya berapa harganya, ini berapa, itu berapa. Setiap aku menjawab, dia selalu berdecak dengan cerminan suara keras. Suamiku memencet hidungku sambil berkata, "Sayangku, kan kamu bisa berbohong . Jangan katakan harga sebenarnya." Lambat laun, keharmonisan rumah tanggaku mulai terusik.




Ibu sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi menyiapkan sarapan paginya sendiri, dimata ibu seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Di meja makan, wajah ibu selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Ibu selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti garpu dengan sendok, itulah cara dia protes.

Aku adalah instruktur tari, seharian terus menari membuat tubuhku sangat letih. Aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi saat musim dingin. Ibu kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu aku malah makin repot. Misalnya: dia suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa dijual katanya. Jadilah rumahku seperti cerminan tempat pemulungan kantong plastik, dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.

Kebiasaan ibu mencuci piring bekas makan tidak menggunakan sabun cairan pencuci, agar supaya dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah tidur. Suatu hari, ibu mendapati aku sedang mencuci piring malam harinya. Dan dia segera membanting pintu dan menangis. Suamiku jadi serba salah, malam itu dia seperti orang bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku menjadi kecewa dan marah. "Apa salahku?" Dia melotot dan berkata :"Kenapa kamu tidak biarkan saja? Apakah memakan dengan piring itu bisa membuat mu mati?"

Aku dan ibu tidak bertegur sapa untuk waktu yang cukup lama, suasana menjadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak pada siapa. Ibu tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya. Suatu kebahagiaan terpancar diwajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dan dengan sinar mata yang seakan mencemoohku sewaktu melihat kepadaku, seakan berkata dimana tanggung jawab mu sebagai isteri?
Demi menjaga suasana pagi hari agar tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat bekerja.

Saat tidur, suami berkata: "Apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan dirumah?" sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata: "Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi." Aku mengiyakan dan kembali ke meja makan yang serba canggung itu.

Pagi itu, nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu perasaan yang sangat mual menimpaku, seakan-akan isi perut mau keluar semua. aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi. sampai disana, aku segera mengeluarkan semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yang tajam, diluar sana, terdengar suara tangisan ibu dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian! Pertama kali perkawinan ku, aku bertengkar hebat dengan suamiku. Ibu melihat kami dengan mata memerah dan berjalan menjauh. Suamiku segera mengejarnya keluar rumah.

Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan ibu ke rumah, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan napsu makan ditambah lagi dengan suasana rumah yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku berkata, "Sebaiknya kamu periksa ke dokter." Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah berita gembira terselip juga dikesedihan. Mengapa suami dan ibu sebagai orang yang berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?

Dipintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku. 3 hari tidak bertemu dia berubah drastis. Muka kusut cerminan kurang tidur, aku ingin segera berlalu tapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia melihat ke arah ku tetapi seakan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku. Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi. Padahal aku ingin meberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi mimpiku tidak menjadi kenyataan. didalam taksi air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalahpahaman ini berakibat sangat buruk?

Sampai dirumah aku berbaring diranjang memikirkan peristiwa tadi. Memikirkan sinar matanya yang penuh dengan cerminan kebencian. Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dengan wajah berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Aku menatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku lalu berlalu. Sepertinya dia sudah memutuskan untuk meninggalkan aku. Sungguh lelaki yang sangat picik, dalam saat begini dia masih membedakan antara uang dan cinta. Aku tersenyum sambil menitikkan air mata.

Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan pergi mencari kekantornya. Dikantornya aku bertemu dengan sekretarisnya dengan wajah bingung. "Ibunya Pak Direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit." Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju rumah sakit dan saat menemukannya, ibu sudah meninggal. Aku memandang jasad ibu yang terbujur kaku. Sambil menangis aku menjerit dalam hati : "Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?" Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa dengan ku. Jika memandangku ia selalu memandang dengan penuh kebencian.

Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain, pagi itu ibu berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, ibu juga berlari makin cepat dan tidak menyadari seuah bus yang datang ke arahnya dengan kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu,, jika kami tidak bertengkar, jika......... ah, dimatanya akulah penyeab kematian ibu.

Suamiku pindah ke kamar ibu, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah dan merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan semua ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak akan pernah menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walapun ini bukan salahku. Waktu berlalu dengan sangat lambat. Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia pulang makin larut malam. Suasana tegang didalam rumah.

Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah cafe. Melalui keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita didalam. Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra. Aku tertegun dan mengerti apa yang telah terjadi. Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga tidak berkata apa-apa karena aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Sang gadis melihat kearahku dan ke arah suamiku dan segera hendak berlalu. Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan cerminan sinar mata yang tak kalah tajam dariku. Suara detak jantungku terasa sangat keras. Setiap detak suara seperti suara menuju kematian.

Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka. Jika tidak...mungkin aku akan jatuh bersama bayiku dihadapan mereka. Malam itu dia tidak pulang ke rumah, seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Sepeninggal ibu, rajutan cinta kami juga sepertinya telah berakhir. Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar. Aku tahu dia mengambil barang-barang keperluannya. Aku tidak ingin menelepon walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan hal ini. Tetapi itu tidak pernah terjadi...... semua berlalu begitu saja.

Aku mulai hidup seorang diri. Pergi check kandungan sendiri. Setiap kali melihat sepasang suami isteri sedang check kandungan bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar aku membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti orang yang sedang histeris mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada ibu bahwa aku tidak bersalah.

Suatu hari sepulang kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang tamu. Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas diatas meja. Tidak perlu tanya aku juga sudah tahu surat apa itu. 2 bulan hidup sendiri aku sudah bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya : "Tunggu sebentar, aku akan segera menandatanginya". Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan demikian juga aku. Aku berkata pada diri sendiri, jangan menangis. Mata ini terasa sakit sekali tetapi aku harus terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.

Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia memperhatikan perutku yang agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku menandatangani surat itu dan menyodorkan kepadanya . "Kamu hamil?" Semenjak ibu meninggal, itulah pertamakalinya dia berbicara kepadaku. Aku tidak bisa membendung air mataku yang mengalir keluar dengan derasnya. Aku menjawab: "Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi." Dia tidak pergi, dalam cerminan keremangan ruangan, kami saling berpandangan. Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke tanganku. Air matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi dilubuk hatiku, semuanya sudah berlalu. Banyak hal yang sudah berlalu dan tidak bisa diambil kembali. Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata "Maafkan aku, maafkan aku". Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa. Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta diantara kami telah ada sebuah luka yang menganga. Semua ini adalah sebuah akibat kesengajaan darinya.

Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan cerminan es, tidak pernah sama sekali menyentuh semua makanan pembelian dia, tidak menerima semua hadiah pemberiannya. Tidak juga berbicara lagi dengannya. Sejak menandatangani surat itu, semua cintaku padanya sudah berlalu. Harapanku telah lenyap tak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu. Dia terpaksa kembali ke kamar ibu. Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar ibu tetapi aku tidak perduli. Itu adalah permainannya dari dulu. Jika aku tidak perduli padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa dia sakit. Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak. Dia lupa....... itu adalah dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yang aku miliki?

Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang sampai anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu memberi barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku bacaan untuk anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai barangnya penuh sesak dengan barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku tetapi aku tidak bergeming. Terpaksa dia mengurung diri didalam kamar, malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya, pikirku. Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.

Suatu malam dimusim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara yang sangat keras. Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya tidak pernah tidur. Saat inilah yang ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia menggenggam erat tanganku, menghapus keringat dingin yang mengalir didahi ku. Sampai rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya yang kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yang mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia ?

Sampai dipintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang. Saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum kepadanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan anak ku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia. Aku memegang tangannya, dia membalas memegangku dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku berteriak histeris memanggil namanya. 

Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya. Aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya. Tetepi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah keajaiban. Aku tanya kapankah kanker ini terdeteksi? 5 bulan yang lalu, kata dokter. Bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi perduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang kerumah dan ke kamar ibu lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang itu apa adanya. Aku masih berpikir dia sedang bersandiwara. Sebuah surat yang sangat panjang ada di dalam komputer yang ditujukan kepada anak kami.
"Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itulah harapanku. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan. Sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersama kamu tetapi ayah tidak punya kesempatan untuk itu. Didalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasihat terhadap segala kemungkinan hidup yang akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah." "Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun-tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yang paling menyayangimu dan adalah orang yang paling ayah cintai."

Mulai dari kejadian yang mungkin akan terjadi sejak TK, SD, SMP, SMA, sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap didalamnya. Dia juga menulis sebuah surat untukku. "Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yang paling bahagia yang aku rasakan didalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan aku yang tidak pernah memberi tahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti engkau telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannya kepada anak kita. Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian hadiahnya."

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong anak kami dan membaringkannya diatas dadanya sambil berkata: "Sayang, bukalah matamu sebentar saja dan lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya. Dengan susah payah dia membuka matanya dan tersenyum..... anak itu tetap dalam dekapan nya, dengan tangannya yg mungil memegangi tangan ayahnya yg kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah menjepret beberapa kali momen ini dengan kamera di tangan sambil berurai air mata...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar